Senin, 16 Mei 2011

KETERKAITAN ANTARA STRES DENGAN LINGKUNGAN

Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stress dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan . Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu. Cara penyesuaian atau pengatasan masing-masing individu terhadap lingkungannya juga berbagai macam.
Pengandaian kedua adalah bahwa variable transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stress psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, anggapan tentang kontrol, pengaturan ruangan dan kualitas lain dapat menjadi variable transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stress atau tidak.
Bangunan yang tidak memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial akan merupakan sumber stress bagi penghuninya. Apabila perumahan tidak memperhatikan kenyamanan penghuni, misalnya pengaturan udara yang tidak memadai, maka penghuni tidak dapat beristirahat dan tidur dengan nyaman. Akibatnya penghuni sering kali lelah dan tidak dapat bekerja secara efektif dan ini akan mempengaruhi kesejahteraan fisik maupun mentalnya. Demikian pula apabila perumahan tidak memperhatikan kebutuhan rasa aman warga, maka hal ini akan berpengaruh negatif pula. Penghuni selalu waspada dan akan mengalami kelelahan fisik maupun mental. Hubungan antar manusia sangat penting, untuk itu perumahan juga sebaiknya memperhatikan kebutuhan tersebut.
Pembangunan perumahan yang tidak menyediakan tempat umum dimana para warga dapat berinteraksi satu sama lain akan membuat mereka sulit berhubungan satu sama lain. Atau perumahan yang tidak memperhatikan ruang pribadi masing-masing anggotanya akan dapat merupakan sumber stress bagi penghuninya (Zimring dalam Prawitasari, 1989).
Fontana (1989) menyebutkan bahwa stress lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang rebut, jalan menuju bangunan tempat kerja yang mengancam nilai atau kenikmatan salah satu milik/kekayaan, dan kecemasan financial atas ketidakmampuan membayar pengeluaran-pengeluaran rumah tangga.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada di dalamnya (Holahan, 1982). Stressor lingkungan, menurut stokols (dalam Brigham, 1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat.


Kondisi Pekerjaan

Lingkungan Kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stress, sulit berkonsentrasi dan menurunnya produktivitas kerja. Bayangkan saja, jika ruangan kerja tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruangan kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang bersih, berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja karyawan.

Overload. Sebenarnya overload ini dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam "tegangan tinggi". Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.

Deprivational stress. George Everly dan Daniel Girdano (1980), dua orang ahli dari Amerika memperkenalkan istilah deprivational stress untuk menjelaskan kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).

Pekerjaan Berisiko Tinggi. Ada jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau berbahaya bagi keselamatan, seperti pekerjaan di pertambangan minyak lepas pantai, tentara, pemadam kebakaran, pekerja tambang, bahkan pekerja cleaning service yang biasa menggunakan gondola untuk membersihkan gedung-gedung bertingkat. Pekerjaan-pekerjaan ini sangat berpotensi menimbulkan stress kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.

Konflik Peran

Ada sebuah penelitian menarik tentang stress kerja menemukan bahwa sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, atau yang kurang memiliki struktur yang jelas, mengalami stress karena konflik peran. Mereka stress karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen (Rice, 1992). Kenyataan seperti ini mungkin banyak dialami pekerja di Indonesia, dimana perusahaan atau organisasi tidak punya garis-garis haluan yang jelas, aturan main, visi dan misi yang seringkali tidak dikomunikasikan pada seluruh karyawannya. Akibatnya, sering muncul rasa ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

Para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stress lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stress.

sumber :
http://devianggraeni90.wordpress.com/2011/05/10/definisi-stres-keterkaitan-antara-stres-dengan-lingkungan-dan-pengaruh-stres-terhadap-perilaku-individu-dalam-lingkungan/
http://www.baliusada.com/content/view/333/2/

Pemicu stress

Orang stres itu ada banyak dengan berbagai macam/jenis penyebab mulai dari masalah ekonomi, masalah cinta, masalah keluarga, masalah pekerjaan, masalah tetangga, masalah selebritis, dan lain sebagainya. Orang stress biasanya mudah tersinggung, sensitif, gugup, agresif, emosi labil, sedih, emosional, dan lain sebagainya.

Berikut adalah kategori pemicu stres yang umum :
1. Stres Kepribadian (Personality stress)
Stres kepribadian adalah stress yang dipicu oleh masalah dari dalam diri seseorang. Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan atas dirinya. Orang yang selalu menyikapi positif segala tekanan hidup akan kecil resiko terkenal stress jenis yang satu ini.

2. Stes Psikososial (Psychosocial stress)
Stres psikososial adalah stress yang dipicu oleh hubungan relasi dengan orang lain di sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya. Contohnya seperti stres adaptasi lingkungan baru, masalah cinta, masalah keluarga, stres macet di jalan raya, diolok-olok, dan lain-lain.

3. Stres Bioekologi (Bio-Ecological stress)
Stres bio-ekologi adalah stress yang dipicu oleh dua hal. Yang pertama yaitu ekologi / lingkungan seperti polusi serta cuaca dan yang kedua akibat kondisi biologis seperti akibat datang bulan, demam, asma, jerawatan, tambah tua, dan banyak lagi akibat penyakit dan kondisi tubuh lainnya.

4. Stres Pekerjaan (Job stress)
Stres pekerjaan adalah stress yang dipicu oleh pekerjaan seseorang. Persaingan jabatan, tekanan pekerjaan, deadline, terlalu banyak kerjaan, ancaman phk, target tinggi, usaha gagal, persaingan bisnis, adalah beberapa hal umum yang dapat memicu munculnya stress akibat karir pekerjaan.

Stres sebaiknya segera ditindaklanjuti agar tidak berujung pada yang lebih parah seperti depresi dan gila. Bimbingan konseling, psikolog, dokter, teman dekat, keluarga, pasangan istri/suami, anak, dan sebagainya mungkin bisa membantu masalah yang kita miliki.

Sumber : http://organisasi.org/jenis-macam-kategori-pemicu-stress-penyebab-stres-psikologis-manusia

Selasa, 10 Mei 2011

Strees Lingkungan

Stress didefinisikan sebagai proses dengan kejadian lingkungan yang mengancam atau hilangnya kesejahteraan organisme yang menimbulkan beberapa respon dari organisme tersebut. Respons ini bisa dalam bentuk coping behavior (tingkah laku penyesuaian) terhadap ancaman. Kejadian-kejadian lingkungan yang menyebabkan proses ini disebut sebagai sumber stress (stressor) yang antara lain berupa bencana alam dan teknologi, bising, dan commuting, sedangkan reaksi yang timbul karena adanya stressor disebut respons dari stress (stress response).
Respons terhadap stress dicirikan dengan perubahan emosional, tingkah laku langsung terhadap pengurangan stress, dan perubahan psikologis seperti meningkatnya arousal. Proses ini meliputi seluruh bagian dari situasi, yaitu ancaman itu sendiri, persepsi terhadap ancaman, coping (penyesuaian) dengan ancaman, dan pada akhirnya beradaptasi dengan hal tersebut.

1.Bagian dari Stress
Ada tiga bagian dari stress, yaitu:
^ karakteristik dari sumber-sumber stress (characteristics of stressors)
^ penilaian terhadap sumber-sumber stress (appraisal of stressors)  stress yang terjadi pada seseorang dapat meningkat tergantung pada bagaimana mereka menginterpretasikannya.
^ respons terhadap stress yang terjadi (stress response)  termasuk kecemasan, depresi, sakit, penarikan diri, dan agresi.

1.Karakteristik dari Stressor (characteristics of stressors)
Beberapa kejadian lingkungan dapat mengancam sebagian besar orang, dan yang lainnya mengancam golongan yang lebih kecil atau bahkan hanya dialami oleh seseorang. Kemungkinan suatu kejadian menjadi penuh sterss (stressful) ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk karakteristik dari kejadian yang spesifik dan cara individu menilai kejadian tersebut.

Lazarus dan Cohen (1977) membuat tiga kategori sumber stress lingkungan, yaitu:
1. Cataclysmic Events
Cataclysmic events merupakan stressor yang besar sekali dan mempunyai beberapa karakteristik. Biasanya terjadi secara tiba-tiba dan memeberikan sedikit atau bahkan tidak ada peringatan ketika kejadian itu akan datang. Stressor ini mempunyai pengaruh yang kuat bagi sejumlah besar orang dan biasanya memerlukan banyak sekali usaha untuk penyesuaian yang efektif. Stressor ini dapat berupa bencana alam, perang atau bencana nuklir, yang ke semuanya tidak dapat diprediksi dan ancaman-ancaman yang sangat kuat yang secara umum mempengaruhi segala sesuatu yang ada di sekitar bencana tersebut.
Cataclysmic events biasanya terjadi secara tiba-tiba sehingga onset yang sangat kuat dari kejadian-kejadian seperti itu pada awalnya dapat menimbulkan respons ketakutan dan kebingungan dari korban (Miller, 1982; Moore, 1958). Dalam keadaan ini, sulit untuk melakukan coping dan boleh jadi tidak ada pertolongan dengan segera. Bagaimanapun, periode berat yang mengancam seperti itu (tetapi tisak selalu) berakhir secara cepat dan membutuhkan pemulihan.
Beberapa keistimewaan cataclysmic events adalah dalam manfaatnya untuk proses coping yang berpengaruh pada sejumlah besar individu. Afiliasi dengan yang lain dan berbagi rasa serta pendapat dengan orang lain diidentifikasi sebagai gaya coping yang penting terhadap ancaman-ancaman tersebut (McGrath, 1970; Schachter, 1959). Dukungan sosial seperti ini cukup berpengaruh dalam kondisi stressful (Cobb, 1976). Dengan kata lain, keberadaan orang lain di sekitar kita untuk memberikan dukungan, berbagi rasa serta pendapat dan bentuk bantuan lain dapat mengurangi pengaruh negatif dari stressor. Karena individu dapat berbagi distress mereka dengan yang lain yang mengalami kesulitan yang sama. Beberapa studi menunjukkan bahwa ada kohesi diantara individu-individu tersebut (Quarantelli, 1978). Tentu saja, ini tidak selalu terjadi dan penduduk tidak dapat bersama-sama melawan stressor dalam waktu yang terbatas. Ketika stressor berlangsung dan tidak menemukan cara pemecahannya, maka jenis masalah yang berbeda akan timbul.

2. Personal Stressors
Personal stressors sejenis dengan cataclysmic events, tetapi dampaknya hanya mengenai satu orang tertentu atau beberapa orang dalam jumlah terbatas dan boleh jadi tidak diharapkan. Misalnya sakit, kematian orang yang dicintai, atau kehilangan pekerjaan. Kejadian ini cukup kuat untuk menantang kemampuan adaptasi yang sama pada cataclysmic events. Seringkali besarnya, durasi dan letak dari pengaruh yang kuat pada cataclysmic events dan personal stressors adalah sama seperti kematian dan kehilangan pekerjaan.

3. Daily Hassles
Daily hassles merupakan stressor dalam bentuk problem yang terjadi setiap hari dan berulang-ulang, serta tidak terlalu memerlukan daya penyesuaian diri yang terlalu besar. Stressor ini sifatnya stabil dan intensitas masalah yang dihadapi rendah karena sebagai bagian dari suatu rutinitas. Daily hassles mencakup antara lain ketidakpuasan dalam pekerjaan, kesulitan keuangan, pertengkaran dengan tetangga, dan masalah transportasi dalam kota. Daily hassles memang relatif ringan dibandingkan dengan jenis stressor yang lain. Efeknya bertahap, tetapi karena sifatnya kronis dapat juga membawa akibat jangka panjang yang fatal.
Satu atau lebih latar belakang stressor mungkin tidak cukup menyebabkan kesulitan penyesuaian yang besar. Namun, ketika sejumlah hal terjadi secara bersama-sama dapat menentukan dengan tepat kerugian yang lebih besar dan mungkin seserius pada cataclysmic events atau stressor personal. Pemaparan yang biasa, tetapi dalam jangka waktu yang panjang membutuhkan respons penyesuaian yang lebih.


Teori Stress Lingkungan (Environment Stress Theory)
Teori stress lingkungan pada dasarnya merupakan aplikasi teori stress dalam lingkungan. Berdasarkan model input proses output, maka ada 3 pendekatan dalam stress, yaitu : stress bagi stressor, stress sebagai respon atau reaksi, dan stress sebagai proses. Oleh karenanya, stress terdiri atas 3 komponen, yaitu stressor, proses, dan respon. Stressor merupakan sumber atau stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang, misalnya suara bising, panas atau kepadatan tinggi. Respon stress adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, pikiran, fisiologis dan perilaku. Proses merupakan proses transaksi antara stressor dengan kapasitas dengan kapasitas diri. Oleh karenanya, istilah stress tidak hanya merujuk pada sumber stress, respon terhadap sumber stress saja, tetapi keterikatan antara ketiganya. Artinya, ada transaksi antara sumber stress dengan kapasitas diri untuk menentukan reaksi stress. Jika sumber stress lebih besar daripada kapasitas diri maka stress negatif akan muncul, sebaiknya sumber tekanan sama dengan atau kurang sedikit dari kapasitas diri maka stress positif akan muncul. Dalam kaitannnya dengan stress lingkungan, ada transaksi antara karakteristik lingkungan dengan karakteristik individu yang menentukan apakah situasi yang menekan tersebut menimbulkan stress atau tidak. Udara panas bagi sebagian orang menurunkan kinerja, tetapi bagi orang lain yang terbiasa tinggal di daerah gurun, udara panas tidak menghambat kinerja.
Fisher (1984) melakukan sintesa pendekatan stress fisiologis dari Hans Selye dan pendekatan psikologi dari Lazarus, yang terlihat dalam bagan berikut ini :
Ada tiga tahap stress dari Hans Selye, yaitu tahap reaksi tanda bahaya, resistensi, dan tahap kelelahan. Tahap reaksi tanda bahaya adalah tahap dimana tubuh secara otomatis menerima tanda bahaya yang disampaikan oleh indera. Tubuh siap menerima ancaman atau menghindar terlihat dari otot menegang, keringat keluar, sekresi adrenalin meningkat, jantung berdebar karena darah dipompa lebih kuat sehingga tekanan darah meningkat. Tahap resistensi atau proses stress. Proses stress tidak hanya bersifat otomatis hubungan antara stimulus respon, tetapi dalam proses disini telah muncul peran-peran kognisi. Model psikologis menekankan peran interpretasi dari stressor yaitu penilaian kognitif apakah stimulus tersebut mengancam atau membahayakan. Proses penilaian terdiri atas 2 yaitu : penilaian primer dan penilaian sekunder. Penilaian primer merupakan evaluasi situasi apakah sebagai situasi yang mengancam, membahayakan, ataukah menantang. Penilaian sekunder merupakan evaluasi terhadap sumber daya yang dimiliki, baik dalam arti fisik, psikis, sosial, maupun materi. Proses penilaian primer dan sekunder akan menentukan strategi coping (Fisher 1984) dapat diklasifikasikan dalam direct action (pencarian informasi, menarik diri, atau mencoba menghentikan stressor) atau bersifat palliatif yaitu menggunakan pendekatan psikologis (meditasi, menilai ulang situasi dsb). Jika respon coping ini tidak adekuat mengatasi stressor, padahal semua energi telah dikerahkan maka orang akan masuk pada fase ketiga yaitu tahap kelelahan. Tetapi, jika orang sukses, maka orang dikatakan mampu melakukan adaptasi. Dalam proses adaptasi tersebut memang mengeluarkan biaya dan sekaligus memetik manfaat.

Sumber : http://niandre7lovely.wordpress.com/2009/07/08/stress-lingkungan-dan-penanggulangannya/